Raperda Perlindungan Petambak Garam Hampir Final, Masdawi: Ini Saatnya Petani Garam Punya Payung Hukum

Sumenep,RPN-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petambak Garam. Raperda ini digarap serius oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD dengan menggandeng berbagai pihak guna memastikan aturan ini mampu menjawab persoalan riil di lapangan.

Ketua Pansus, H. Masdawi, menyampaikan bahwa penyusunan Raperda tidak hanya dilakukan di balik meja birokrasi. Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Perikanan, DLH, hingga Bappeda telah diajak berdialog. Namun, undangan terhadap PT Garam hingga kini belum mendapat respons.

“Kami ingin memastikan bahwa Raperda ini menyentuh langsung kebutuhan petambak. Kami juga sudah mengundang PT Garam, tapi belum ada respons dari mereka,” kata Masdawi, Selasa (16/7/2025).

Turun Langsung ke Sentra Garam

Langkah konkret juga dilakukan dengan turun langsung ke lapangan, salah satunya ke Desa Karanganyar, sebagai salah satu sentra utama produksi garam di Sumenep. Dalam kunjungan ini, Pansus menemukan berbagai masalah klasik yang selama ini membelenggu para petambak.

Legalitas Lahan Masih Abu-abu

Masalah paling krusial adalah legalitas pengelolaan lahan. Banyak petambak garam tidak memiliki dokumen resmi meski telah bertahun-tahun mengelola lahan milik PT Garam. Kondisi ini rawan dimanfaatkan oleh oknum untuk praktik percaloan.

“Bayangkan, satu orang bisa menyewa puluhan hektar, lalu diserahkan ke petambak tanpa status hukum yang jelas. Ini merugikan petani kecil,” tegas Masdawi.

Masyarakat berharap Raperda ini nantinya dapat mengatur secara tegas perlunya perjanjian tertulis antara penyewa dan pemilik lahan.

Harga Tak Stabil dan Produksi Buram

Isu harga garam yang tak menentu juga menjadi sorotan. Petambak berharap adanya sistem harga yang adil, seperti komoditas tembakau.

“Kami juga kesulitan mengakses data produksi. Harus ada transparansi, termasuk sistem penimbangan resmi terhadap semua garam yang keluar dari Sumenep,” katanya.

Akses Jalan dan CSR Jadi Sorotan

Pansus turut menemukan persoalan akses jalan yang diklaim milik PT Garam, padahal digunakan masyarakat secara luas.

“Pemerintah tidak mungkin membangun jalan untuk kemudian dikunci bagi rakyatnya,” kata Masdawi menegaskan.

Pihaknya juga menyoroti nihilnya kontribusi CSR dari PT Garam, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan.

“Tak ada kontribusi CSR sama sekali. Meski tidak ada sanksi pidana, sanksi administratif bisa dijalankan,” tandasnya.

Target Rampung 2025

Raperda ini ditargetkan rampung tahun 2025. Namun Masdawi tak menampik bahwa evaluasi di tingkat provinsi kerap menjadi kendala, seperti yang terjadi dalam Perda Desa Wisata.

“Kalau lancar, tiga bulan setelah pengesahan bisa langsung diundangkan. Tapi kita siapkan juga untuk proses panjang,” ujarnya.

Meski tidak semua aspirasi dari lapangan bisa langsung masuk karena terkendala regulasi lebih tinggi, Pansus tetap berkomitmen menjadikan keadilan bagi petambak garam sebagai prioritas utama.

“Kita susun Raperda ini bukan karena program, tapi karena masalah petambak sudah puluhan tahun tak kunjung tuntas. Inilah saatnya kita hadirkan payung hukum yang pasti untuk mereka,” tutup Masdawi.

Penulis: ZainEditor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× How can I help you?